Berpikir. Entah disengaja atau tidak, semua orang tentu pernah berpikir. Dalam melakukan aktifitas berpikirnya, minimal diperlukan 4 persyaratan yang harus dipenuhi. Pertama, adanya fakta. Kedua, memiliki panca indera, ketiga, diperlukan memori untuk menyimpan informasi yang masuk dan yang terakhir adalah adanya referensi atau informasi sebelumnya. Kekurangan salah satu dari keempat ini menyebabkan manusia kurang bisa berpikir dengan baik dan sempurna.
Dari keempat syarat di atas, referensi sebelumnya sangat mempengaruhi pola pikir manusia dalam menerima informasi atau dalam memikirkan sesuatu. Ini oleh Thomas Kuhn (dalam tulisannya tentang “Scientific Paradigm”) disebut dengan "Paradigma".
Lebih jauh dia mengatakan bahwa sangat sedikit sekali orang bisa keluar dari paradigma yang sedang berlaku, hatta ia seorang ilmuwan -- yang dikatakan sebagai manusia yang paling obyektif dan realistis-- sekalipun.
Dalam revolusi ilmu pengetahuan, munculnya teori-teori besar selalu diawali dengan hipotesa yang menjelaskan berbagai fenomena alam. Hipotesa yang paling mampu menjelaskan obyek ini akan menjadi satu pemahaman yang diakui secara luas (natural science) dan menjadi paradigma ilmu tersebut. Para ilmuwan berikutnya, setiap kali akan menjelaskan fenomena yang melibatkan ilmu tadi, selalu berangkat dari paradigma ini. Namun, bersamaan dengan berjalannya waktu, tidak sedikit ditemukan fenomena yang tidak sesuai atau tidak bisa dijelaskan dengan paradigma yang berlaku. Semakin banyak keanehan yang ditemukan, semakin berkurang validitas paradigma tersebut. Lama kelamaan paradigma ini luluh, digantikan oleh hipotesa baru yang kemudian berkembang menjadi paradigma yang baru. Begitulah seterusnya revolusi ilmu pengetahuan terjadi. Contoh yang mudah adalah fenomena cahaya. Beratus-ratus tahun cahaya dijelaskan dengan paradigma gelombang.
Para ilmuwan ketika meneliti masalah cahaya senantiasa membawa paradigma ini, yang bahkan mempengaruhi ilmuwan tersebut dalam memilih dan memilah data. Sekalipun ditemukan keanehan pada data tersebut, dia cenderung memilih data yang mendukung perilaku cahaya sebagai sebuah gelombang. Hanya sedikit sekali ilmuwan yang benar-benar obyektif dalam memilih data dan rajin mengumpulkan berbagai keganjilan tadi. Ilmuwan seperti inilah yang kemudian tergerak mencari hipotesa lain untuk menjelaskannya, dan selanjutnya bisa mendobrak paradigma lama sekaligus memunculkan paradigma baru.Salah satunya adalah Planck yang kemudian memunculkan paradigma dualitas cahaya, sebagai gelombang dan materi.
>>>> Tulisan di atas adalah penyemangat dari Edi Sensei (katanya) bagi kami dimasa-masa awal perjuangan.
Mungkin saja saat ini ada diantara kita (mungkin juga saya) yang terjebak dalam paradigma. Dengan hal itu menyebabkan tersumbatnya kreatifitas dan cenderung berfikir dengan mindset kebanyakan. Padahal jika kita mau lebih berani sedikit, bisa saja masih banyak ceruk-ceruk kosong yang bisa kita isi dan kembangkan.
^Mari menjadi Planck era baru^^_
0 comments:
Post a Comment