10/01/2013

Harta Gono Gini

Istilah yang terdiri dari 3 kata di judul posting ini merupakan salah satu kata populer dalam keseharian saya dan kawan-kawan di kelas. Apalagi jika sudah melaksanakan sebuah kegiatan bersama. Tentu kita sudah sama-sama paham ya, kalau bahwasanya hampir semua memerlukan biaya. Tak ada yang gratis di dunia ini. Dan disaat yang sama saya dan teman-teman merupakan anak-anak kost yang karena situasi kondisi kebanyakan sedang tidak berpenghasilan tetap, atau bahkan lebih naas lagi jika boleh dibilang tidak berpenghasilan sama sekali. Dan lagi kami masih di PHP oleh pemberi beasiswa, karena sampai sekarang belum sepeserpun kami menerimanya... (semoga urusannya segera kelar dan berujung pada keindahan :) ).

Walaupun begitu, kami menyadari bahwa segala sesuatunya jika dihadapi bersama maka akan indah dan menguatkan, hehe. 

Nah, sudah menjadi sebuah ketentuan umum bagi kami jika di sebuah kegiatan atau event, sebut saja jalan-jalan atau makan bareng misalnya, untuk berurun bersama, dengan catatan yang jelas, uang siapa di pakai untuk apa. Lalu setelah itu dilakukanlah pembagian setara untuk setiap rupiah yang telah di share bersama.

Satu pengalaman menarik juga menjadi titik tolak ku dalam mendefinisikan kembali harta gono gini. Ceritanya seperti ini, pada sebuah kesempatan, kami mengadakan dinner bareng syukuran telah selesainya pelatihan IELTS dan selesainya proses seleksi untuk beasiswa kami ke Holland. Kami bersepuluh plus dua orang tentor kami makan malam bareng di restoran di Sutos. Tempat yang kami pilih, termasuk yang high class, aji mumpung, sekali-sekali di moment khusus. (dari pada makan penyetan dan lodeh teruss).

Ketika selesai, jujur saja kami (the students) sedikit bimbang tentang siapa yang harus membayar, karena berdasarkan pengalaman, jika makan-makan dengan dosen itu, biasanya sang Dosen lah yang membayarkan makanan yang dimakan. Walau kami sudah menyiapkan uang, tapi kami menunggu pergerakan dari Dosen instrukturnkami tersebut. Dan yupss... ketika bill datang, salah seorang dari tentor kami mengeluarkan dompet dan membayarnya. Terlihat kecerahan di wajah 10 anak manusia itu, maklum lah porsi yang dimakan sedikit mahal (bukan sedikit sih, tapi emang mahhhhal). Tapi tiba-tiba sekonyong-konyong, Ms instruktur kami yang satunya lagi berujar bahwa biaya makanan tadi harus di share masing-masing, sesuai apa yang telah di makan. Terjadi sedikit bantah-bantahan kecil di antara mereka berdua. Yang satu bilang gak papa, yang satu mesti di share secara proporsional. "Mereka harus di ajar dengan budaya yang seperti ini, biar nanti di negeri orang tidak shock", itu ujar beliau. Dan memang, menurut buku yang kubaca, disana jika ada acara kumpul-kumpul dan makan bareng, sudah menjadi hal lumrah bahwa setiap orang akan membayar apa yang mereka makan.

Walhasil, tanpa rasa malu, di meja makan itu juga kami menghitung apa yang dimakan dan di bagi biyanya, walau bagi kami yang ten students itu biaya tetap di bagi rata. Nah luar biasanya lagi, dari Ms kami yang satu lagi aku belajar tentang pembagian uang, beliau tetap menghitung secara detail sampai ke tingkat ribuannya. Dan Ketika tidak ada kembalian atau uangnya, kami bilang tak masalah, namun beliau bersikeras untuk mengatakan bahwa itu adalah bagian dari hutangnya. Dan benar saja sobat, keesokan harinya, beliau datang ke kelas kami hanya untuk membayarkan uang yang sekitar 9 atau sepuluh ribuan itu. Saluuut.

Nah, Aku pun bertekad untuk mencoba belajar berlaku sama. Berusaha untuk berhati-hati dengan harta gono gini ini. Secara jelas dan tegas serta details. Walau mungkin akan sedikit aneh jika dilihat dari kacamata orang kita yang segan menyegan.

Tapi aku menambahkan sedikit catatan, bagiku, jika mesti ada basa-basi maka cukup 3-4 kali saja... :D Misal jika mereka memberiku sesuatu, aku sudah berniat untuk menolaknya, namun tetap ditawarkan, dan lalu kutolak, tapi ditawarkan terus, maka di kesempatan ke empat aku akan menerima, hidup ini keras, rejeki jangan ditolak. Demikian juga, jika aku berniat memberi, lalu yg mau kuberi itu menolak dan kami berproses beri-tolak sampai tiga putaran, maka di putaran keempat jangan salahkan aku jika sesuatu itu tak jadi menjadi milikmu. Kata pamungkas tentu saja : " Baiklah jika kamu memaksa... " :D

Mudah-mudah an tidak salah kaprah, menurutku ini benar. ehm

0 comments: