Alhamdulillah berkesempatan untuk hadir dalam temu alumni sebuah
organisasi di kampus dulu. Dimana bisa merenung kembali tentang semangat dan
kontribusi yang dulu pernah sedemikian menggebu nya. Sekarang??? Hmm.. masih
membahana insya Allah. Tapi hal tentang semangat itu perlu di charge dan
dipupuk terus menerus. Dan bagi sebagian orang (termasuk saya), berjumpa dan
berkumpul dengan orang-orang yang se visi tentulah memberikan input yang
positif untuk keberlangsungan semangat tersebut.
Baru saja memasuki ruangan, flash back berseliweran dalam bayangan,
seolah-olah semua itu nyata kembali di kepala ini, saat-saat saya yang menjadi
seperti adek-adek yang hadir sekarang. Ingatan terbang kepada karib kerabat
yang dahulu sama-sama berjuang, yang sama-sama belajar untuk
mengimplementasikan nilai-nilai ukhuwah dalam tataran nyata sebuah kontribusi. Hmm…
sungguh beruntung kalian dek, bisa bergabung disini di sebuah tempat
aktualisasi diri yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam hidup dan
kehidupan saya.
Tulisan ini bukanlah tentang memoir yang terjadi dalam acara tersebut. Tapi
ini lebih pada tanggapan pendapat saya terhadap sebuah statement yang
disampaikan oleh salah seorang pemateri dalam kegiatan itu. Tulisan ini bukan
mengkritisi beliau ataupun menyanggah pendapatnya. Hanya saja, tulisan ini
terilham dari sepenggal kalimat yang beliau ucapkan.
Begini kalimatnya kawan, “Saya sampai sekarang tidak pernah membuat surat
lamaran, tetapi saya disuruh untuk membuat surat lamaran dan lalu langsung
diterima”. Ehm, biar ga merembet kemana-kemana, saya batasi lah ya, bahwa
lamaran yang dimaksud disini adalah lamaran pekerjaan. So, mengapa saya harus
menurunkan tulisan ini?
Jika kawan tak melihat asbabun nuzul kalimat itu, tentu hal pertama yang
mungkin terbersit di dalam benak kawan adalah betapa sombongnya beliau ini,
hehe. Namun jika memperhatikan konteks penyampaian kalimat tersebut, maka saya
yakin bahwa tiada maksud kesombongan dalam diri sang pemateri, hal ini lebih
pada semangat beliau dan keinginan untuk memotivasi dengan contoh real dan
nyata yang diambil dari kisah benar dalam kehidupannya.
Tapi tak ada salahnya kan jika saya juga mengambil kisah dari dunia nyata
kehidupan saya, yang sampai saat ini masih saja menjalankan program “menebar
jala” dan sedang harap-harap cemas menanti jala itu berhasil menangkap ikan
yang dikehendaki. Dan instrument utama penebaran jala itu adalah “sepucuk qalam”
eh sepucuk surat lamaran maksudnya. Lalu apakah salah? Lalu apakah saya kurang
keren dibanding sang pemateri itu? Hmmm… lalu apakah saya harus menepi di sudut
dan menekurkan kepala ke tepi dindidng, karena saya membuat surat lamaran? Hehe.
Kawan, bagi mereka yang mendapatkan berkah karunia berupa tidak pernah
membuat surat lamaran, tetapi malah diminta untuk bergabung di tim, berarti hal
itu patut kita apresiasi dan menjadi lecutan semangat bagi kita. Bahwa ternyata
ada orang–orang yang mungkin dengan segala kemampuan dan kecemerlangan yang
mereka punya-tentu saja saya yakin mereka memperoleh keistimewaan itu dengan
susah payah pula, seperti belajar yang giat, membangun jaringan yang kokoh,
berdoa yang khusu’- mereka tak perlu bersusah-susah mencari lowongan kerja dan
membuat serta menebar sekian buah surat lamaran. Namun, apakah hal tersebut
juga HARUS pas buat kita? Apakah hal tersebut juga HARUS terjadi pada kita? No
it is not, absolutely not. Setiap orang punya jalan hidupnya masing-masing dan
jalan itu uniq yang dengan kata lain berbeda dengan orang lainnya.
Bagi saya dan sebagian lainnya yang mungkin bernasib tak sama dengan
pemateri itu, maka saya harus membuat surat lamaran. Saya menikmati setiap
proses yang dilalui. Saya suka hidup yang penuh tantangan dan tidak monoton.
Sensasi memasuki sebuah kantor, untuk bertemu dengan orang yang tidak dikenal,
lalu menyampaikan maksud untuk melamar pekerjaan di tempat tersebut. Sensasi mempersiapkan
diri untuk sebuah seleski. Sensasi menanti hasil dengan perasaan yang
harap-harap cemas. Kemudian sensasi ketika ditolak dari sebuah institusi.
Sensai replay surat lamaran yang belum ada kejelasan komentar. Ya semuanya
memberikan warna yang memperkaya khasanah hidup saya. Dan saya mensyukuri setiap
prose situ. Tentu saja saya berharap, bahwa saya sudah membuat surat lamaran
terakhir dan diterima untuk bekerja dan semoga menjadi tempat berlabuhnya
pengabdian saya. Amiin.
Poin lainnya bagi saya dan kawan-kawan yang mungkin bernasip tak mendapat
panggilan, lalu apakah kita akan duduk diam manis dan menunggu ada yang meminta
kita?? Hellooo, ini 2015 kawan, dan hidup ini keras, butuh perjuangan. Jika missal
anda seorang ketua organisasi kampus, anda seorang bintang jurusan, anda
seorang aktivis keren, anda lulusan PTN favorit, bahkan anda seorang lulusan
luar negeri, lantas anda hanya duduk diam manis dan menunggu? Hmm… iya
syukur-syukur jika garis tangan anda
yang mungkin dengan keredhoaan Allah, ada panggilan tanpa harus melamar. Tapi
coba, kalao Allah mau uji kita dengan ketiadaan panggilan kerja, mungkin Allah
sedang uji ketahanan kita dalam memohon kepadaNya untuk memperoleh rezeki yang
halal, mungkin Allah sedang melihat sejauh mana kesabaran dan kerendahan hati
kita untuk melepas kan semua kepongahan background yang kita punya dan mampu
menulis surat MEMOHON diterima untuk bekerja di sebuah institusi.
Semoga tulisan ini bisa membuat kita semakin semangat dalam berusaha dan
berdoa untuk berjuang menjemput rezeki yang halal yang sesungguhnya sudah Allah
sediakan untuk setiap hambaNya. Dan proses untuk kesana berbeda-beda bagi
setiap orang. Selamat jika anda bekerja tanpa harus membuat surat lamaran
Kawan. Tapi bagi yang belum, mari semangat “menebar jala” dengan keyakinan
tawakkal kepada Allah. Karena setiap langkah hidup kita ini begitu merona.
Sebab kita Istimewa Insya ALLAH. Wallahualam #peace
Lbk Minturun, 7 Desember 2014
0 comments:
Post a Comment